Jakarta (ANTARA
News) - Pemerintah dan Pemerintah Daerah Aceh membentuk tim gabungan
untuk membahas tentang evaluasi klarifikasi Peraturan Daerah (Qanun)
Aceh Nomor 3 Tahun 2013, khususnya penggunaan simbol dan lambang bendera
daerah, kata Mendagri Gamawan Fauzi di Jakarta, Kamis.
"Kami, pusat dan Pemda Aceh, bersama membentuk tim kecil yang akan
merumuskan penyesuaian-penyesuaian koreksi dari Kemendagri," kata
Gamawan ketika ditemui di kantornya, Kamis.
Sebelumnya, masing-masing pihak Pemerintah pusat maupun Pemda Aceh
membentuk tim guna membahas secara terpisah mengenai klarifikasi
penggunaan simbol dan lambang bendera yang dituangkan dalam Qanun
tersebut.
"Sekarang dua tim sudah tergabung menjadi satu untuk membahas dua
rumusan, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) dan Keppres (Keputusan
Presiden) dan soal bendera," jelasnya.
Selain itu, Kemendagri juga melakukan koordinasi pembahasan Qanun
bersama dengan sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah terkait PP
dan Keppres tersebut, berdasarkn pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.
Sementara itu terkait penyelesaian bendera daerah, kedua belah pihak
sepakat untuk memperpanjang lagi masa pembahasan selama dua bulan
terhitung sejak 15 Agustus, tepat pada peringatan perjanjian perdamaian
Helsinki yang dilakukan delapan tahun lalu.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah juga telah mengimbau warganya untuk tidak mengibarkan bendera Aceh pada 15 Agustus nanti.
"Kami imbau kepada masyarakat Aceh supaya tidak melakukan itu
(pengibaran bendera Aceh pada 15 Agustus) karena itu akan merusak
kesepakatan yang telah kita ambil bersama," kata Zaini Abdullah usai
melakukan pertemuan dengan Pemerintah di Jakarta, Rabu (31/7).
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan
menambahkan, ada pemikiran baru terkait polemik bendera Aceh yang akan
dicoba oleh kedua belah pihak yang berbeda pendapat.
"Perlu ada penambahan waktu masa cooling down selama dua bulan. Kami
akan melakukan pembahasan mengenai perubahan qanun," kata
Djohermansyah.
- Mata Kuliah http://anggitabeliani10.blogspot.com/#
- Accounting management
- AMT
- Audit
- EPN
- Integration
- MYOB
- Smart Entrepreneur
- Tax Software
Minggu, 13 Juli 2014
Qanun wali Nanggroe
Mendagri: Qanun Wali Nangroe Langgar UU Pemerintahan Aceh
Senin, 10 Juni 2013 13:05 WIB
SERAMBI INDONESIA/BUDI FATRIA
Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi (tengah) didampingi Gubernur
Aceh, dr Zaini Abdullah (kanan) memberikan keterangan pers usai
melakukan pertemuan tertutup membahas qanun bendera dan lambang Aceh di
Pendopo Gubernur Aceh, Banda Aceh, Kamis (4/4/2013). (SERAMBI
INDONESIA/BUDI FATRIA)
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi meminta kepada Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menyesuaikan substansi qanun tersebut dengan ketentuan perundang-undangan lebih tinggi.
Hasil klarifikasi yang dilakukan Tim Kemendagri bersama dengan kementerian dan lembaga nonkementerian terkait, menyebutkan terdapat 19 butir klarifikasi yang harus disesuaikan yang sebagian besar justru melanggar UUPA.
Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Prof Djoehermansyah Djohan yang ditanyai Serambi (Tribunnews.com Network), Jumat (7/6/2013) malam di Jakarta mengatakan, Lembaga WN yang diatur dalam qanun tersebut terlalu gemuk dan berpotensi memboroskan anggaran rakyat. Hal lain yang dilanggar adalah duplikasi tugas dan fungsi lembaga.
Di antara pasal-pasal qanun yang minta dihapus adalah Pasal 1 angka 1 dan disesuaikan dengan Pasal 1 angka 2 UUPA; Pasal 1 angka 4 dan disesuaikan dengan Pasal 1 angka 17 UUPA; Pasal 1 angka 7 dan disesuaikan dengan Pasal 1 angka 10 UUPA; Pasal 1 angka 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, dan angka 19, karena tidak diamanatkan pembentukannya oleh UUPA dan bertentangan dan duplikasi tugas dan fungsi dengan lembaga adat sebagaimana diatur Pasal 98 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPA.
Duplikasi tugas dan fungsi juga terdapat pada Pasal 5 sampai Pasal 16 qanun dan karenanya diminta Mendagri untuk dihapus. Prof Djoehermansyah Djohan mengatakan, Wali Nanggroe belum bisa berfungsi apabila belum ada lembaganya.
"Uangnya baru bisa dicairkan kalau sudah ada lembaga, dan lembaga tersebut harus sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan," kata Prof Djoehermansyah.
"Kita sudah kirimkan butir-butir klarifikasi tersebut dan silakan disesuaikan," tambahnya. Disebutkan, Kemendagri menunggu Qanun Lembaga Wali Nanggroe yang sudah diperbaiki itu.
"Tapi nyatanya sampai saat ini kita belum terima perbaikannya," lanjut Prof Djohermansyah.
Dalam pertemuan perudingan Qanun Bendera, menurut Prof Djoehermansyah, pemerintah pusat selalu mengingatkan tentang perbaikan Qanun Lembaga WN.
Qanun Aceh
- Qanun Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
- Qanun Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Qanun kabupaten/kota disahkan oleh bupati/wali kota setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten atau Dewan Perwakilan Rakyat Kota).
Etimologi
Kata qanun berakar dari Bahasa Yunani, kanon / κανών, yang berarti untuk memerintah, tolok ukur atau mengukur. Seiring luasnya penggunaan dalam tradisi formal, artinya meluas menjadi "aturan baku yang diterima oleh sebuah majelis". Bahasa Arab kemudian menyerapnya menjadi qanun, seperti pada masa kekhalifahan Turki Utsmaniyah, Sultan Suleiman I dijuluki pemberi hukum (bahasa Turki: Kanuni; bahasa Arab: القانونى, al‐Qānūnī) karena pencapaiannya dalam menyusun kembali sistem undang-undang Utsmaniyah.
Langganan:
Postingan (Atom)